Selasa, 28 Desember 2010

AHLAK TERHADAP SESAMA ORANG TUA DAN GURU

AHLAK TERHADAP SESAMA ORANG TUA DAN GURU
A. Ahlak kepada orang tua

Terdapat banyak ayat yang mendudukkan ridha orang tua setelah ridha Allah dan keutamaan berbakti kepada orang tua adalah sesudah keutamaan beriman kepada Allah. Allah berfirman yang artinya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia kepada dua orang ibu-bapanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (QS. Lukman: 14).
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah :’Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.(QS. Al Isra :23-24).
Dari ayat diatas terlihat jelas bagaimana penting dan besarnya arti diri orang tua di sisi Allah Subhanahu Wa Ta ala. Jika beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta ala wajib maka berbakti kepada kedua orang tua juga wajib. Sebaliknya, kalau ingkar kepada-Nya adalah dosa besar, begitu pula durhaka kepada orang tua. Dan berbuat baik kepada orang tua bukan hanya semasa hidupnya akan tetapi sampai matipun si anak tetap wajib berbakti kepada mereka.
Sekiranya suatu saat usia mereka sudah diambang senja, janganlah kita menghardik, mencaci, memukul, serta perbuatan-perbuatan keji lainnya, mengucapkan kata “ah” saja terlarang sebagaiman dalam ayat diatas apalagi perbuatan-perbuatan yang lebih daripada itu. Dan yang patut dilakukan adalah berbicara kepada mereka dengan lemah lembut, sikap rendah diri, suara tidak melebihi suara mereka, dan itu semua adalah akhlak utama seorang anak.
“Bahwa seorang laki-laki yang berasal dari Yaman hijrah ke Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sekarang sudah hijrah!’ Beliau bertanya ‘Sudahkah mereka memberimu izin ?’ jawabnya : ‘Belum’ sabda Beliau, ‘Pulanglah dan minta ijinlah kamu kepada mereka. Kalau sekiranya mereka memberimu izin, silahkan berjuang. Tetapi kalau tidak, berbuat baiklah kamu kepada mereka.”(HR Abu Dawud).
Disini agama Islam meletakkan keagungan orang tua dihadapan anak-anaknya dalam rangka berbakti dan berjuang di jalan Allah. Bukan semata-mata jihad kemudian orang tua ditinggalkan begitu saja tanpa dimintai izin sama sekali. Bahakan berangkat ke medan peperangan dinomorduakan jika memang belum memenuhi kebaktiannya kepada orang tua.
“Rugilah, rugi sekali, rugi sekali, seseorang yang mendapati salah seorang dari kedua orang tuanya atau kedua-duanya sewaktu mereka sudah diambang senja, dan tidak memasukkan ia kedalam surga “(HR Muslim).
Dalam hal berbuat kebaikan kepada orang tua, memang sepantasnya ibu lebih banyak dicurahkan. Ini mengingat kerja payahnya semenjak ia mengandung sampai melahirkan ditambah lagi memenuhi semua keperluannya tidak pernah merasa bosan dan lelah. Dari Abu Hurairah :
“Telah datang seorang laki-laki menghadap Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam lalu bertanya :’Wahai Rasulullah siapakah yang paling berhak aku pergauli dengan cara bagus ?’ Jawab beliau :’Ibumu!’. Kemudian ia bertanya lagi ‘Sesudah itu siapa?’ Jawab beliau :’Ibumu!’. ia bertanya lagi:’Sesudah itu siapa ?’ Jawab beliau :’Ibumu!’. Ia bertanya lagi :’Sesudah itu siapa?’ Jawab beliau :’Bapakmu!”(HR Bukhari Muslim).
Dan termasuk dosa besar bila seorang anak berbuat durhaka kepada orang tuanya. Rasulullah Salallahu Alaihi Wa Salam bersabda :
“Termasuk dosa besar ialah seorang yang mencaci maki orang tuanya. Seseorang lalu bertanya:’Mungkinkah ada seseorang mencaci maki orang tuanya?’ Jawab beliau :’Ada! Dia mencaci maki bapak seseorang lalu orang itu membalas memaki bapaknya. Dia mencaci maki ibu seseorang lalu orang itu membalas memaki ibunya”(HR Bukhari Muslim).
Namun bagaiman bila orang tua kita bermaksiat dan musyrik kepada Allah, apakah kita tetap harus berbuat baik terhadap mereka ? Islam memang menganjurkan untuk berbuat baik kepada orang tua secara umum, tetapi perlu diingat jika orang tua memaksakan kehendaknya untuk bermaksiat kepada Allah, maka hendaknya ditolak dengan lemah lembut dan penuh kesopanan.
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kamu kembali, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”(QS Luqman : 15).
“Mendengar dan mentaati itu wajib bagi seorang muslim, menyangkut apa yang ia cintai maupun apa yang ia benci, selagi tidak disuruh untuk urusan maksiat. Kalau diperintah untuk maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak ada ketaatan”(HR Bukhari Muslim).
Dari Abu Bakrah RadiAllahuanhu berkata: Saya mendengar Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassallam bersabda, "Setiap dosa diakhiri (hukumannya) oleh Allah hingga hari kiamat kecuali durhaka kepada kedua orang tua. Sesungguhnya Allah Ta’ala mempercepat(hukumannya) di kehidupannya di dunia ini sebelum ia mati. "(HR Hakim no 7263 dia berkata hadits ini shahih sanadnya tetapi tidak di keluarkan oleh Bukhari dan Muslim). Ini sebagian jawaban gamblang dari wahyu untuk pertanyaan yang selama ini mengganjal: mengapa selalu sial. Penyegeraan hukuman karena dosa. Dipercepat di dunia ini sebelum mati. Tentu selain adzab di akhirat bagi yang belum taubat.
Mungkin ada rentang waktu tertentu kita durhaka pada orangtua. Mungkin ada sebagian hidup kita yang sempat melupakan ayah dan ibu. Mungkin ada sebuah kata yang bisa jadi tidak kita sadari tetapi cukup melukai ayah dan ibu. Mungkin ada muka masam yang kita bawa dari luar ke hadapan ayah dan ibu yang merasa bahwa kita sedang tidak nyaman dengan beliau berdua. Mungkin sempat ada panggilan ayah dan ibu yang tidak kita sambut karena setumpuk kesibukan. Mungkin anak dan istri menyita perhatian sehingga menomorduakan ayah ibu yang mulai memasuki usia senja. Mungkin ada jeda waktu yang cukup panjang kita tidak menanyakan keadaan ayah dan ibu. Mungkin kita sempat berniat menghukum ayah dan ibu karena kekecewaan kita. Mungkin kita pernah membuat keduanya menangis. Satu saja kita lakukan dan orangtua tidak ridha, cukup menjadi sebab dipercepatnya hukuman Allah di dunia ini. Cukup menjadi ganjalan langkah kita ke depan yang telah direncanakan dengan sangat rapi. Cukup membuat hidup selalu terasa sial. Cukup menjadikan hari-hari kita penuh kegundahan dan kesedihan. Cukup melahirkan mata rantai masalah yang sulit diputus.
Orangtua adalah surga atau neraka kita. Kita mudah memasuki surga melalui pintu bakti. Dan kita juga mudah terjungkal di lembah neraka melalui pintu durhaka. Dari Abu Hurairah berkata, 'Suatu saat Rasulullah mengulang ungkapannya tiga kali, "Celakalah"
Para shahabat bertanya,”Siapa ya Rasulullah ?” Rasul menjawab, "Siapa yang masih menjumpai kedua orang tuanya hidup saat usia tua atau salah satunya tetapi dia masuk neraka."' (HR, Muslim no.2551).

Lebih jelas lagi disampaikan oleh Ibnu Abbas. Muslim yang mempunya dua orangtua yang rnuslim, menjumpainya di pagi hari dengan mengharap pahala dari Allah, kecuali Allah bukakan baginya dua pintu surga. Jika orang tuanya tinggal satu maka pintu surga yang terbuka juga satu, jika dia membuat marah keduanya, Allah tidak ridho kepadanya hingga keduanya ridho. Ditanyakan padanya: Walaupun kedua orang tuanya telah mendzaliminya ? Ibnu Abbas menjawab,”Ya sekalipun keduanya telah mendzoliminya! ( Al Adabul Mufrad no 7).

B. AKHLAQ KEPADA GURU
Guru adalah orang tua kedua, yaitu orang yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi lebih baik sebagaimana yang diridhoi Alloh ‘azza wa jalla. Sebagaimana wajib hukumnya mematuhi kedua orang tua, maka wajib pula mematuhi perintah para guru selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syari’at agama.
Guru adalah orang tua kedua, yaitu orang yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi lebih baik sebagaimana yang diridhoi Alloh ‘azza wa jalla. Sebagaimana wajib hukumnya mematuhi kedua orang tua, maka wajib pula mematuhi perintah para guru selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syari’at agama.
Di antara akhlaq kepada guru adalah memuliakan, tidak menghina atau mencaci-maki guru, sebagaimana sabda Rosululloh saw :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا
“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua dan tidak menyayangi orang yang lebih muda.” ( HSR. Ahmad dan At-Tirmidzi )
Di antara akhlaq kepada guru adalah mendatangi tempat belajar dengan ikhlas dan penuh semangat, sebagaimana sabda Rosululloh saw :
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu padanya, Alloh mudahkan baginya dengannya jalan menuju syurga.” ( HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah )
Di antara akhlaq kepada guru adalah datang ke tempat belajar dengan penampilan yang rapi, sebagaimana sabda Rosululloh saw :
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Alloh itu indah dan suka kepada keindahan.”
( HR. Ahmad, Muslim dan Al-Hakim )
Di antara akhlaq kepada guru yaitu diam memperhatikan ketika guru sedang menjelaskan, sebagaimana hadits Abu Sa’id Al-Khudri ra :
وَ سَكَتَ النَّاسُ كَأَنَّ عَلَى رُءُوسِهِمْ الطَّيْرَ
“Orang-orang pun diam seakan-akan ada burung di atas kepala mereka.” ( HR. Al-Bukhori )
Imam Sufyan Ats-Tsauri rohimahulloh berkata : “Bila kamu melihat ada anak muda yang bercakap-cakap padahal sang guru sedang menyampaikan ilmu, maka berputus-asalah dari kebaikannya, karena dia sedikit rasa malunya.”
( AR. Al-Baihaqi dalam Al-Madkhol ilas-Sunan )
Di antara akhlaq kepada guru adalah bertanya kepada guru bila ada sesuatu yang belum dia mengerti dengan cara baik. Alloh berfirman :
فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Bertanyalah kepada ahli dzikr ( yakni para ulama ) bila kamu tidak tahu.”
( Qs. An-Nahl : 43 dan Al-Anbiya’ : 7 )
Rosululloh saw bersabda :
أَلاَ سَأَلُوْا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ
“Mengapa mereka tidak bertanya ketika tidak tahu ? Bukankah obat dari ketidaktahuan adalah bertanya ?” ( HSR. Abu Dawud )
Dan menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada faedahnya, sekedar mengolok-olok atau yang dilatarbelakangi oleh niat yang buruk, olSeh karena itu Alloh berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَسْأَلُوْا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan sesuatu yang bila dijawab niscaya akan menyusahkan kalian.” ( Qs. Al-Maidah : 101 )
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
“Sesungguhnya orang muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lantas menjadi diharamkan lantaran pertanyaannya itu.” ( HR. Ahmad, Al-Bukhori dan Muslim )
Ketika bertanya mestinya dilakukan dengan cara dan bahasa yang bagus.
Berkata Imam Maimun bin Mihron : “Pertanyaan yang bagus menunjukkan separuh dari kefahaman.” ( AR. Al-Khothib Al-Baghdadi dalam Al-Jami’ )
Di antara akhlaq kepada guru adalah menegur guru bila melakukan kesalahan dengan cara yang penuh hormat, sebagaimana sabda Rosululloh :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ , قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ لِلَّهِ وَ لِكِتَابِهِ وَ لِرَسُولِهِ وَ لأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَ عَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat.” Kami ( Shahabat ) bertanya : “Untuk siapa ?” Beliau menjawab : “Untuk menta’ati Alloh, melaksanakan Kitab-Nya, mengikuti Rosul-Nya untuk para pemimpin kaum muslimin dan untuk orang-orang umum.” ( HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dll











TUGAS ASWAJA

AHLAK TERHADAP SESAMA ORANG TUA DAN GURU




DISUSUN OLEH :
JUMRIANI 08 071 014 179
SHUFRIYAH 08 071 014 080



FAKULTAS KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
MAKASSAR
2010

AKHLAK TERHADAP AL-QUR’AN

AKHLAK TERHADAP AL-QUR’AN
Al-Quran adalah kitab suci agama islam untuk seluruh umat muslim di seluruh dunia dari awal diturunkan hingga waktu penghabisan spesies manusia di dunia baik di bumi maupun di luar angkasa akibat kiamat besar.
Di dalam surat-surat dan ayat-ayat alquran terkandung kandungan yang secara garis besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal pokok atau hal utama beserta pengertian atau arti definisi dari masing-masing kandungan inti sarinya, yaitu sebagaimana berikut ini :
1. Aqidah / Akidah
Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.
2. Ibadah
Ibadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian "fuqaha" ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dkerjakan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT. Bentuk ibadah dasar dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum dalam lima butir rukum islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan suci ramadhan dan beribadah pergi haji bagi yang telah mampu menjalankannya.
3. Akhlaq / Akhlak
Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.
4. Hukum-Hukum
Hukum yang ada di Al-quran adalah memberi suruhan atau perintah kepada orang yang beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman hukum pada sesama manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam islam berdasarkan Alqur'an ada beberapa jenis atau macam seperti jinayat, mu'amalat, munakahat, faraidh dan jihad.
5. Peringatan / Tadzkir
Tadzkir atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia akan ancaman Allah SWT berupa siksa neraka atau waa'id. Tadzkir juga bisa berupa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepadaNya dengan balasan berupa nikmat surga jannah atau waa'ad. Di samping itu ada pula gambaran yang menyenangkan di dalam alquran atau disebut juga targhib dan kebalikannya gambarang yang menakutkan dengan istilah lainnya tarhib.
6. Sejarah-Sejarah atau Kisah-Kisah
Sejarah atau kisah adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang mengalami kebinasaan akibat tidak taat atau ingkar terhadap Allah SWT. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebaiknya kita mengambil pelajaran yang baik-baik dari sejarah masa lalu atau dengan istilah lain ikibar.
7. Dorongan Untuk Berpikir
Di dalam al-qur'an banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang memerlukan pemikiran menusia untuk mendapatkan manfaat dan juga membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam semesta.
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baiK daripada sedekah yang disertai dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima) (QS Al-Baqarah [2]: 263).

Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. Misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia 1ain. Karena itu, Al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin:
Jangan meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi (saat berdialog), dan jangan pula mengeraskan suaramu (di hadapannya saat beliau diam) sebagaimana (kerasnya) suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain... (QS Al-Hujurat [49]: 2).
Janganlah kamu jadikan panggilan (nama) Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain) (QS An-Nur [24]: 63).
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasukirumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya (QS An-Nur [24]: 27).
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak lelaki dan wanita yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu meminta izin kepada kamu tiga kali (yaitu waktu) sebelum shalat subuh,ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya ... (QS An-Nur [24):58).
Salam yang diucapkan itu wajib dijawab dengan salam yangserupa, bahkan juga dianjurkan agar dijawab dengan salam yang lebih baik (QS An-Nisa' [4]: 86).
Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, Al-Quran memerintahkan, Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia (QS A1-Baqarah [2]: 83). Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar,Dan katakanlah perkataan yang benar (QS Al-Ahzab [33]: 70).

Tidak wajar seseorang mengucilkan seseorang atau kelompok lain, tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau memanggilnya dengan sebutan buruk (baca Al-Hujurat [49]:11-12) .

Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a.--menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi Al-Quran turun menyatakan:

Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat(-nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An-Nur [24]: 22). Sebagian dari ciri orang bertakwa dijelaskan dalam Quran suratAli Imran (3): 134, yaitu:

Maksudnya mereka mampu menahan amarahnya, dan memaafkan, (bahkan) berbuat baik (terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya), sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang berbuat baik. Di dunia Barat, sering dinyatakan, bahwa "Anda boleh melakukan perbuatan apa pun selama tidak bertentangan dengan hak orang
lain", tetapi dalam Al-Quran ditemukan anjuran, "Anda hendaknya mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan Anda sendiri."Mereka mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Jika ada orang yang digelari gentleman --yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut {terutama kepada wanita)-- seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak Al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa Al-Quran disebut al-muhsin.
Setiap muslim harus meyakini kesucian Kalamulloh, keagungannya, dan keutamaannya di atas seluruh kalam (ucapan). Al-Qur’anul Karim itu Kalamulloh yang di dalamnya tidak ada kebatilan. Al-Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala.
Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang Muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat Imam Muslim dijelaskan, yang artinya: “Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya Al-Qur’an itu akan menjadi syafa’at di hari Qiyamat bagi yang membacanya (ahlinya).” (HR. Muslim).
Wajib bagi kita menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur’an dan mengharamkan apa yang diharamkannya. Diwajibkan pula beradab dengannya dan berakhlaq terhadapnya. Untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an, di saat membaca Al-Qur’an seorang Muslim perlu memperhatikan adab-adab yang akan disampaikan pada tulisan berikut ini.
Agar membacanya dalam keadaan yang sempurna, suci dari najis, dan dengan duduk yang sopan dan tenang. Dalam membaca Al-Qur’an dianjurkan dalam keadaan suci. Namun apabila dia membaca dalam keadaan najis, diperbolehkan dengan Ijma’ umat Islam. Imam Haromain berkata; orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama. (At-Tibyan, hal.58-59).
Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca. Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami” (HR. Ahmad dan para penyusun Kitab-KitabSunan).
Dan sebagian kelompok dari generasi pertama membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rasulullah telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatamkan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari). (Muttafaq Alaih). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit g, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.
Di dalam sebuah ayat Al-Qur’an, Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hambaNya yang shalih, yang artinya: “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’ (QS. Al-Isra’: 109).
Agar membaguskan suara di dalam membacanya, sebagaimana sabda Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
dalam hadits lain dijelaskan: “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Maksud hadits di atas, membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj huruf nya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah Tajwid.
Membaca Al-Qur’an dimulai dengan Isti’adzah.Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk” (QS. An-Nahl: 98).
Apabila ayat yang dibaca dimulai dari awal surat, setelah isti’adzah terus membaca Basmalah, dan apa bila tidak di awal surat cukup membaca isti’adzah. Khusus surat At-Taubah walaupun dibaca mulai awal surat tidak usah membaca Basmalah, cukup dengan membaca isti’adzah saja.
Membaca Al-Qur’an dengan berusaha mengetahui artinya dan memahami inti dari ayat yang dibaca dengan beberapa kandungan ilmu yang ada di dalam nya. Firman Alloh Ta’ala, yang artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24).
Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih atau dalam hati secara khusyu’. Rasulullah ShallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Orang yang terang-terangan (di tempat orang banyak) membaca Al-Qur’an, sama dengan orang yang terang-terangan dalam shadaqah” (HR. Tirmidzi, Nasa’i, dan Ahmad).
Dalam hadits lain dijelaskan, yang artinya: “Ingatlah bahwasanya setiap hari dari kamu munajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh mengangkat suara atas yang lain di dalam membaca (Al-Qur’an)” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Bai haqi dan Hakim), ini hadits shahih dengan syarat Shaikhani (Bukhari-Muslim).
Jadi jangan sampai ibadah yang kita lakukan tersebut sia-sia karena kita tidak mengindahkan sunnah Rasulullah dalam melaksanakan ibadah membaca Al-Qur’an. Misalnya, dengan suara yang keras pada larut malam, yang akhirnya mengganggu orang yang istirahat dan orang yang shalat malam.
Dengarkan bacaan Al-Qur’an. Jika ada yang membaca Al-Qur’an, maka dengarkanlah bacaannya itu dengan tenang, Alloh Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan tatkala dibacakan Al-Qur’an, maka dengar kanlah dan diamlah, semoga kamu diberi rahmat” (QS. Al-A’raaf: 204).
Membaca Al-Qur’an dengan saling bergantian yang bertujuan untuk pendidikan atau mempelajari Al Qur’an. Yang mendengarkannya harus dengan khusyu’ dan tenang. Rasulullah bersabda, yang artinya: “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam rumah-rumah Alloh, mereka membaca Al-Qur’an dan saling mempelajarinya kecuali akan turun atas mereka ketenangan, dan mereka diliputi oleh rahmat (Alloh), para malaikat menyertai mereka, dan Alloh membang-ga-banggakan mereka di kalangan (malaikat) yang ada di sisiNya.” (HR. AbuDawud).
Setiap orang Islam wajib mengatur hidupnya sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan harus dipelihara kesucian dan kemuliaannya, serta dipelajari ayat-ayatnya, dipahami dan dilaksanakan sebagai konse kuensi kita beriman ke-pada Al-Qur’an.
(Sumber Rujukan: Minhajul Muslim, Fiqih Sunnah, At-Tibyan Fi Adaabi Hamlatil Qur’an)









TUGAS ASWAJA

AHLAK TERHADAP AL-QUR’AN







DISUSUN OLEH :
INDRAWATI 08 071 014 169
NURAENA 08 071 014 070




FAKULTAS KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
MAKASSAR
2010